MEMELIHARA KESUCIAN JIWA
Oleh : Nazirman, MA
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang
Kesucian jiwa suatu istilah yang populer baik di kalangan intelektual maupun di kalangan awam. Kesucian jiwa dapat dipahami dengan keadaan jiwa yang bersih dari berbagai noda dan dosa yang mengakibatkan jiwa tersebut mengalami gangguan, sakit bahkan mengalami kematian. Sebagai seorang mukmin perintah dan keutamaan dalam menjaga dan memelihara kesucian jiwa merupakan sebuah keniscayaan Karena banyak dalil yang sahih baik naqli maupun aqli yang menganjurkan dan memposisikan mereka yang senantiasa mensucikan jiwa tergolong kepada kelompok orang yang beruntung (lihat Qs. Asyams : 9-10 dan al-A`la : 14-15).
Istilah jiwa memiliki beragam makna seperti rohani. Terminologi rohani secara harfiyah mengandung makna sebagai sebutan (nama) untuk semua aspek terdalam (inner) dari diri atau batiniahnya manusia. Hal ini terkait dengan istilah aqliyah, qalbiyah, nafsiah dan ruhiyyah. Jika seseorang menyebut jiwa, maka konotasinya fokus pada bagian dari aspek batini tesebut. Aqliyah (mind) terkait dengan kemampuan—daya fikir, daya ingat dan analisis. Qalbiah lebih terkonsentrasi kepada kondisi hati manusia yang memiliki rasa (zauk), sir( rahasia),dan suara hati. Sedangkan nafsiah nama lain dari self (kedirian) manusia yang meliputi self concept, self esteem dan self of control. Dalam kajian sufistik nafsiah yang diharapkan adalah thathmainnul qulub (ketenangan hati). Sedangkan ruhiyah merupakan sumber penggerak kehidupan yang di dalamnya ada motivasi—semanagat kehidupan dan sebagainya. Dengan demikian yang dimaksud dengan menjaga kecucian jiwa adalah proses atau aktivitas kehidupan dalam mempertahankan kondisi batini manusia dari berbagai gangguan, noda dan dosa atau dari berbagai bentuk pelanggaran yang mengakibatkan batiniahnya terganggu, sakit, lalai bahkan mengalami kematian.
Persoalan terbesar berikutnya adalah apa indikator dari jiwa yang bersih, amaliah pendukung serta bagaimana cara setiap diri melakukan pemeliharaan, penjagaan atau perawatan jiwa secara syar`i?. Agaknya tulisan ini mencoba memaparkan secara sederhana ke hadapan pembaca yang direduksi dari berbagai literature islam dan ilmu terkait.
Pikiran yang bersih ditandai dengan kecermerlangan ide (gagasan) yang berlian dan sarat dengan nilai-nilai posistif (positif thinking). Biasanya pikiran yang bersih mudah berhadapan dengan hal yang logis dan realistis dan tidak bertentangan dengan wahyu. Pikiran bersih disebut juga dengan kejernihan dalam berfikir. Pikiran jernih mampu menemukan kebenaran dan tidak berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mempertahankan pikiran tetap bersih dapat dilakukan dengan belajar, membaca dan meneliti terkait dengan pengetahuan. Hanya dengan berilmulah pikiran itu berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan. Perlu dicatat bahwa pikir itu pelita hati. Hati akan terang manakala pikiran berfungsi secara baik.
Hati (qalb) yang bermakna berbolak-balik merupakan muara dari semua perasaan dan intuisinya manusia. Hati manusia unik dan sulit untuk ditebak. Sungguhpun demikian ajaran Islam sangat merekomendasikan persolan hati perlu menjadi perhatian dalam perawatan. Kenapa tidak? Hati sumber penentu bagi kesehatan manusia. Apabila hatinya sakit maka akan berpengaruh pada fisiknya. Suasana hidupun sangat diwarnai oleh nuansa hati. Apabila hati manusia tenang, damai dan berkenan di hatinya, maka situasi kehidupanpun akan mengikut corak nuansa hatinya. Dalam menjalankan aktivitas kehidupan seperti melayani umat, mendidik dan berkerja disarankan dengan sepenuh hati. Bekerja dengan sepenuh hati juga dipengaruhi oleh tingkat ketenangan dan kedamai hati. Kedamaian hati dalam perspektif al-Qur`an dapat diperoleh melalui dzikir (lihat Qs. Ar-Ra`ad 28 dan al-Fajri ayat 27).
Nafs (jiwa) memiliki makna self (kedirian) manusia yang dalam keilmuan psikologi dikenal dengan konsep diri (self concept), harga diri (self image) dan control diri (self of coutrol). Konsep diri merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya. Harga diri atau gambaran diri sangat diwarnai oleh penillaian diri. Begitu juga kemampuan dalam mengotrol diri sangat terkait dengan aspek mana yang mendominasi diri apakah ditentukan oleh diri atau dari luar diri. Dalam Islam persepsi dan penilaian diri seorang muslim memiliki konsep positif. Seorang muslim dalam pandangan Tuhannya berda pada posisi yang mulia. Oleh karana itu setiap diri berupaya untuk mencapai dan mempertahankan kemuliannya dengan pandangan positif pada diri dan Tuhannya serta apa yang dialaminya. Gambaran diri orang muslim adalah mukmin yang muttaqin yang karakteristiknya menjadi sumber dan pemabawa misi kedamaian dan keselamatan bagi kehidupan dimana ia berada. Rasulullah mengambarkan bahwa “almuslimu man salimalmulimuuna min lisanihi wa yadihi”—orang muslim sejati adalah orang muslim di mana orang lain merasa aman dari ucapan dan tindakannya. Terkait dengan kontrol diri—diri yang terkontrol adalah diri yang dewasa dalam segala hal. Kontrol diri terkait dengan kemampuan seseorang untuk memposisikan dan berbuat secara profesional dan proporsional dalam menghadapi berbagai kendala kehidupan. Seorang muslim menyadari bahwa kesuksesan yang diperoleh dan sebaliknya sangat terkait dengan tingkat usaha dirinya serta adanya faktor taqdir yang menentukan. Sikap ini sangat membantu dalam pengendalian diri. Jika berhadapan dengan kesuksesan tidak lupa diri dan daratan serta jika berhadapan dengan kesulitan dan kegagalan tidak mudah berputus asa, karena tugas pokok kehidupan itu wajib berusaha dan tidak wajib berhasi. Sedangkan apapun hasilnya diserahkan kepada Allah Swt sesuai dengan qadha-Nya. Untuk merawat kedirian perlu kombinasi strategi jitu yakni usaha, doa dan tawakkal (lihat al-Qur`an surat Isra` :65-66 dan Ali Imran 159 serta al-Insyirah : 7-8 ) .
Ruhiyah—sumber penggerak kehidupan yang di dalamnya bermuatan semangat serta motivasi kehidupan. Agaknya sumber dan sandaran ruh (ruhul idhafi) (Qs: As-Sajadah: 7-9) yang tidak mungkin kita ketahui karena urusan Tuhan di samping manusia tidak mengetahuinya kecuali amat sedikit (Qs. Al-Isra` : 85) . Akan tetapi semangat kehidupan untuk berprestasi (ruhul hayat) dan melejitkan daya fikir (ruhul fikri) al-Qur`an sangat mengapresiasi manusia untuk menggunakan sumber daya kehidupan. Untuk merawat rohani manusia pada aspek ruhiyahnya, manusia disarankan untuk senantiasa komitmen dalam melestarikan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan Allah dan rasul-Nya. Setiap ruh akan cenderung kepada tipikal jiwa yang dimilikinya dan senang berinteraksi, berkomunikasi serta bersinergi dengan yang setipe dan sehaluan. Oleh karena itu lingkungan sangat berperan dalam merawat ruhiyah ini seseuai dengan apa yang diharapkan.
Pemeliharan jiwa dalam padangan para tokoh sufi—pencinta kesucian jiwa seperti Imam al-Ghazali, Syaid Hawa dan yang lainya merumuskan bahwa perawatan jiwa dapat dilakukan melalui kegiatan tazkiyatunnafs. Kegiatan tadzkiyatunnafs dilaksanakan melalui proses takhalliyah, tahalliyah dan tajalliyah. Sedangkan bagi Syaid Hawa kesucian jiwa diperoleh dengan melalui kegiatan Tathahhur, tahaqquq dan taqalluq. Semoga cara-cara ini bermanfaat bagi mereka yang ingin mempertahankan kesucian jiwanya. Wallahu`alam.
حلقة الشفاء 